Syamsul Arifin, Sang Fenomenal!

Sebarkan:
CHOKING SUSILO SAKEH.
SABTU pagi, sekitar pertengahan tahun 2021, di Jalan Suka Darma, Medan.

“Yang kukenal, kau itu wartawan yang tidak bisa didekati dengan materi atau kekuasaan,” ujar Syamsul Arifin kepadaku, pagi itu, di rumahnya Kawasan STM Medan tersebut.

Nama lengkapnya Dato’ Seri Lelawangsa H. Syamsul Arifin, SE., Gubernur Sumut ke-15 (2008-2011). Aku kini memanggilnya Dato’, setelah dia mendapat gelar “Dato’ Seri Lelawangsa” dari Malaysia, beberapa tahun lalu. Sebelumnya, sejak awal mengenalnya, aku memanggilnya “Abang”.

Pagi itu kami janjian sarapan di rumah kediaman ‘Dato’. Aku Bersama Idrus Junaidi, jurnalis tv senior pendiri IJTI Sumut, yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya ikut mengurus sebuah Yayasan PTS Islam tertua di Medan. Aku memakai pakaian gowes, karena pagi itu aku ke rumahnya sambil gowes. Sedangkan Idrus berpakaian rapi. Kebetulan jarak rumah Idrus dengan rumah Dato’ relatif dekat.

Kami bicara banyak hal. Terutama, tentunya, tentang Sumatera Utara.  Dato’ memang salah satu narasumber paling representatif untuk berbicara tentang Sumatera Utara.

Dan penilaian Dato’ tentang aku itu, terlontar saat kami membicarakan sikapku yang terus mengkritisi kinerja Gubsu Edy Rahmayadi maupun Walikota Medan Bobby Nasution.

Aku tak tau persis apa maksud pernyataan Dato’ tersebut, dan akupun tak pula mempertanyakannya. Tapi aku yakin, itu berdasarkan pengalamannya berteman denganku selama ini.

Sekitar setahun kemudian, hari Jum’at, di sebuah rumah makan Jalan Teuku Cik Di Tiro, Medan.

“Berapa kau dikasi Ijeck setiap bulannya?” tanya Dato’ kepadaku.

Seusai Jum’atan, Dato’ mengajakku makan nasi briyani. Saat aku datang ke rumah makan itu, Dato’ sudah bersama Rektor UMN Al-Washliyah Medan saat itu, KRT Dr H Hardi Mulyono Surbakti, SE., MAP. Sambil makan, Dato’ melontarkan pertanyaan itu kepadaku. Aku terdiam sejenak, aku pingin marah tapi bisa kutahan. Hardi Mulyono juga terdiam.

Setelah menenangkan diri, aku ingatkan pernyataan Dato’ kepadaku, saat aku sarapan pagi di rumahnya bersama Idrus Junaidi beberapa waktu lalu.

Aku tahu persis, pertanyaan Dato’ tersebut muncul dikarenakan aku terus mengkritisi Gubsu Edy Rahmayadi.

“Saat Dato’ menjadi Gubsu dulu, aku terus menerus mengkritisi kinerja Dato’. Ketika itu, Dato’ menudingku dibiayai oleh Wagubsu Gatot Pujonugroho. Nah, saat Gatot menjadi Gubsu menggantikan Dato’, aku pun terus mengkritisi Gatot. Dan Dato’ bingung, siapa pula yang membiaya aku mengkritisi Gatot”, kataku, dingin.

“Menurut Dato’, berapalah aku layak dibayar?”, lanjutku, tenang dan tegas.

Dato’ diam, Hardi Mulyono pun diam. Hanya ada dentingan sendok di piring, yang sesekali mengganggu.

“Beginilah, Dato’ kasi aku satu Alphard dan biaya operasionalnya sampai Pilkada 2024. Setelah itu, aku akan diam,” tegasku.

Tersinggungkah aku? Lucu akh….

***

Senin pagi, Juni 2010, di Lobby Kantor Gubsu Jalan Diponegoro Medan.

Aku masuk dari pintu belakang. Bersamaan itu, Dato’ bersama beberapa Kadis dan tokoh masyarakat, masuk dari pintu depan seusai acara di halaman depan Kantor Gubsu.

“Chokiingg…. kapan kau berangkat?” teriak Dato’.

Aku tersentak. Berlari-lari kecil, aku mendekat ke Dato sambal berbisik, “Senin depan, Tok”.

“Aman itu, Kamis nanti ya,” ujar Dato’, sambil menunjuk seorang ajudannya.

Dato’ masuk ke lift, menuju ruang kerjanya di lantai 10. Beberapa kadis dan tokoh masyarakat yang masih tinggal di situ, heran dan ramai bertanya: “Kemana King?”, “Amanlah itu, udah berteriak pak Gubsu,”, dan lain sebagainya.

Beberapa hari sebelumnya, atas saran Bang Zaidan BS, wartawan dan politisi senior yang dekat dengan Dato’, aku disarankan untuk mengirim SMS kepada Dato’. Isi SMS aku, kurang lebih : “Tok, aku mau ke Piala Dunia Afrika Selatan, selama tiga minggu. Ongkos, uang saku dan lain-lain sudah beres. Tinggal lagi, tambahan untuk beli oleh-oleh.”

Sampai aku berangkat ke Afrika Selatan, mudah-mudahan teriakan ‘aman’ dari Dato’ tersebut, akhirnya ke laut dan asin belaka. Saat kami bertemu kemudian, biasa-biasa saja seperti tak ada kejadian apapun.

Marah kepada Dato’? Lucu akh…

***

Minggu pagi, sekitar awal tahun 2007, di sebuah Restoran Seafood di Jalan Pattimura Medan.

Melalui Irwansyah Nasution, saat itu Ketua GM Kosgoro Sumut, Dato’ mengajakku sarapan. Dato’ yang saat itu menjabat sebagai Bupati Langkat priode kedua, menyatakan ingin maju pada Pilgubsu 2018. Ketika itu, masih ada rentang waktu sekitar 18 bulan lagi menuju Pilgubsu.

“Aku punya dana, dan kakakmu mengizinkan aku maju pada Pilgubsu. Kau bantu aku, ya”, urai Datuk, kepadaku.

Aku menyetujuinya. Bersama Aulia Andri (kini PU RMOL Sumut) dan Ribut Priadi (kini Doktor, dosen dan Humas UMSU Medan), kami kemudian membentuk “Amir Hamzah Center”, sebagai tim penggerak pemenangan Syamsul Arifin pada Pilgubsu 2008.

Nama “Amir Hamzah” kami pilih sebagai nama tim dan ikon tim, karena Amir Hamzah adalah Tokoh Melayu Langkat yang menjadi Pahlawan Nasional. Kebetulan pula, kami menyewa kantor di kawasan ruko Griya Amir Hamzah Medan.

Kamipun merancang warna, tipografi, busana dan tagline yang akan menjadi ciri khas Dato’ untuk maju pada Pilgubsu 2008 kelak. Kamipun merancang, idealnya Dato’ mencari wakilnya dari etnis Jawa.

Saat terbentuk tim “Sampurno” setelah Dato’ berpasangan dengan Gatot Pujonugroho (ketua DPW PKS saat itu), Aku bersama Aulia dan Ribut tidak ikut bergabung. Kami merasa, tugas kami hanya menghantarkan Dato’ untuk mendapatkan pasangan wakilnya. Selain itu, di Amir Hamzah Center sudah kelewat banyak para pakar, dan itu sering membuat kami bingung. 

Selebihnya, kami memilih mendukung “Sampurno” dari luar.

***

Dato’ kukenal saat ia menjadi Ketua FKPPI Langkat dan anggota DPRD Langkat. Dato’ kuanggap sebagai guru, abang, dan sahabat tempatku belajar, bertengkar dan bersendagurau. Sebagai guru dan abang, aku banyak belajar dari Dato’. Keunikan Dato’, pengetahuannya tidak berasal dari buku, tetapi dari pengalaman empiriknya. Dato’ memang dikenal punya banyak pengalaman, yang sering tidak dialami oleh banyak orang lain. Sebagai sahabat, Dato’ adalah temanku bertengkar dan berdebat, juga bersendagurau.

Yang ingin kukatakan dari uraianku yang panjang ini, adalah : Sebagai manusia, tentunya Dato’ Syamsul Arifin punya banyak kelemahan. Namun, kelemahannya tertutupi dengan banyaknya kebaikan yang ditebarkannya kepada siapa saja.

Persahabatan kami pun tak selalu mulus. Saat Dato’ menjadi Gubsu, pernah selama sekitar setahun dia tak mau menegurku, tak mau membalas teguranku, bahkan juga melengos jika berpapasan denganku. Penyebabnya, karena aku dianggapnya terlalu membela Gatot Pujonugroho, wakil Gubsu saat itu.

Sampai kemudian, melalui wartawan senior Sulben Siagian, Syamsul Arifin mengajakku bertemu di rumah dinas Gubsu. Selepas Ashar hingga menjelang Maghrib, kami bertemu. Dato’ curhat berbagai hal kepadaku. Terutama ‘penderitaannya’ sebagai Gubsu, yang belum mampu memuaskan semua masyarakat Sumut.

Aku tetap saja tak mampu marah kepada Dato’, meski apapun yang dilakukannya kepadaku. Sebaliknya, kalau Dato’ marah kepadaku, tak pula pernah kuanggap sama sekali. Apalagi kukenal, salah satu kegemaran Dato’ adalah ‘mencagili’ (usil) teman-temannya. Dia seakan merasa puas, kalau ada temannya yang panik saat ‘dicagilinya’. 

Kritikku kepada Dato’, terutama saat dia menjabat sebagai Gubsu, sama sekali tak dilandasi oleh rasa marahku. Melainkan karena rasa sayangku kepada Dato’, agar dia tetap berjalan sesuai dengan visi dan misi yang ditawarkannya saat kampanye Pilgubsu.

Apapun itu, Dato’ adalah sosok yang kuyakini sebagai manusia yang penuh dengan kebaikan. Selebihnya, Dato’ adalah sosok fenomenal dan tiada tanding di Sumatera Utara. Kupastikan, Sumut kehilangan sosok yang tak kan tergantikan, sampai kapanpun.

Sosok “sahabat semua suku” dan orang baik itu, kini telah Kembali kepada Sang Khalik. Dato’ berpulang ke Rakhmatullah pada 17 Oktober 2023. Selamat jalan orang baik, “Allahummaghfirlahu warhamu wa’aafihi wa’fu’anhu”. Aamiin… (*)

Penulis : Choking Susilo Sakeh

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com