Pelukis, M Yatim bersama Bikhsu dengan latar belakang lukisan Teratai karyanya. (foto/susdha) |
PADA mulanya adalah keprihatinan, lalu tumbuhlah empati. Dua hal itulah yang mendorong pelukis senior Sumatera Utara, M. Yatim Mustafa mendatangi sejumlah Panti Asuhan dan mengajak anak-anak panti, yang umumnya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), untuk belajar melukis.
Pelatihan melukis untuk anak-anak Panti Asuhan itu, sampai hari ini bahkan sudah memasuki tahun ke empat sejak dimulai pada Juni 2021. Luar biasanya, pelatihan melukis itu diberikan M. Yatim secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran sepeser pun dari anak-anak atau dari pengasuh Panti Asuhan. Dalam melaksanakan kegiatan yang memang muncul dari inisiatif dan gagasan pribadinya itu, M. Yatim Mustafa juga tak sekali pun meminta bantuan kepada pihak lain. Semua keperluan dalam proses mengajar melukis puluhan anak-anak Panti Asuhan itu diupayakannya sendiri.
Tampaknya semangat JNE untuk berkarya dan “membuat perbedaan”, meski tidak secara langsung, telah mempengaruhi M. Yatim dalam menjalankan kegiatannya ini. Disadari atau tidak, berbagai kegiatan yang dilakukan JNE dalam bentuk kepedulian masyarakat dan aksi-aksi sosial, memang telah menular ke banyak pihak, tak terkecuali ke seniman pelukis dari Tanjung Morawa, Deli Serdang ini.
M. Yatim Mustafa sendiri mengaku dia memang tidak secara langsung mengambil inspirasi dari aksi-aksi sosial dan kepedulian masyarakat seperti yang dilakukan JNE atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Tapi dia mengaku sering melihat dan membaca aksi-aksi tersebut, khususnya melalui media sosial. “Aksi-aksi sosial dan kepedulian seperti itulah yang semakin mendorong saya untuk bertekad membantu anak-anak Panti Asuhan dengan kemampuan yang ada pada saya. Kebetulan saya bisanya melukis, ya saya ajari mereka melukis,” katanya.
Pada awal menjalankan kegiatan pelatihan melukis ini, M. Yatim mendatangi dua Panti Asuhan besar di Deli Serdang. Yang pertama adalah Panti Asuhan Aljami’atul Wasliyah di Lubuk Pakam dan yang kedua Panti Asuhan Taruna Harapan di Desa Ujung Serdang, Tanjung Morawa. Di dua panti Asuhan itu, mas Yatim tidak hanya sekedar membagikan bingkisan untuk kebutuhan anak-anak Panti Asuhan, tapi sekaligus menyatakan keinginan untuk mendidik dan melatih anak-anak Panti Asuhan tersebut belajar melukis. Keinginan itu ternyata mendapat sambutan sangat baik dari pengasuh panti. Beberapa bulan belakangan ini, bahkan puluhan anak Panti Asuhan Lazarus, Medan juga ikut belajar melukis dengan M. Yatim.
Bukannya gentar, penambahan jumlah anak-anak panti asuhan yang ingin belajar melukis itu justru membuat M. Yatim semakin bersemangat. Dia “Gasss Terus Semangat Kreativitas” anak-anak tersebut. Tak hanya melukis di atas kertas, anak-anak itu bahkan diajarinya melukis di atas kendi tanah atau gerabah. Beberapa di antara lukisan anak-anak Panti Asuhan di kendi tanah atau gerabah itu, bahkan ada yang sudah dipamerkan dan laku terjual.
Meski dia sendiri kerap bolak-balik Medan – Jakarta karena selain melukis M. Yatim adalah juga seorang restorator lukisan kuno, namun kepada anak-anak yang belajar melukis padanya M. Yatim dia tak henti menanamkan semangat bahwa “kalian bisa”. Karena itu M. Yatim tidak hanya mengeksploitir daya kreatif dan imajinasi anak-anak tersebut, tapi juga memompa energi muda di dalam tubuh anak-anak itu untuk berjuang mandiri sehingga tidak terus menerus menggantungkan hidup pada pengurus Panti Asuhan.
Seiring waktu, pelatihan melukis untuk anak-anak Panti Asuhan itu ternyata mendapat respon dan dukungan dari ibu Linda, pecinta lukisan dan pemilik Linda Gallery, Jakarta. Dengan dukungan itu, proses mengajar dan melatih anak-anak panti melukis itu bisa dilakukan secara lebih teratur. Yatim pun membuat jadwal, untuk anak-anak Panti Asuhan Alwasliyah latihan dilakukan dua kali seminggu, yakni setiap hari Selasa dan Sabtu. Sedang untuk anak-anak Panti Asuhan Lazarus dilaksanakan pada setiap hari Jum’at.
Untuk pelatihan melukis itu, mas Yatim menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan. Kertas gambar, pinsil warna, cat, dan lain-lain. Bahkan tak jarang Yatim membawa pula Sembako dan macam-macam jajanan untuk anak-anak panti setiap kali ia datang ke Panti Asuhan untuk memberi pelatihan. Pokoknya selama pelatihan melukis berlangsung, pengasuh Panti Asuhan tidak mengeluarkan biaya apapun. Mereka cukup hanya mengawasi.
M. Yatim sendiri menyebut, keinginannya untuk melatih dan mendidik anak-anak panti asuhan agar bisa melukis, tidak lain karena dia acapkali melihat kenyataan betapa di luar jam-jam sekolah banyak sekali anak Panti Asuhan yang tidak memiliki kegiatan. Mereka hanya menghabiskan waktunya dengan bermain bahkan tak jarang berkeliaran di jalanan. “Alangkah baiknya kalau waktu yang terbuang itu digunakan untuk memberi bekal keterampilan kepada anak-anak Panti Asuhan tersebut. Karena saya bisanya melukis, ya saya beri mereka bekal kemampuan melukis. Siapa tahu kemampuan melukis itu bisa menjadi bekal hidup mereka di masa depan,” ujar M. Yatim.
M. Yatim kemudian mendiskusikan keinginannya untuk mengajari anak Panti Asuhan melukis itu dengan sejumlah rekannya sesama seniman. Reaksi yang ia peroleh ternyata positif. Semua mendukung niat baik itu. Sejak itulah, dibantu sejumlah pelukis muda Sanggar Rowo, M. Yatim mulai terjun ke panti asuhan. Ia datangi sejumlah Panti Asuhan dan menawarkan diri. Alhamdulillah, niat baiknya disambut dengan positif. Maka dimulailah proses melatih melukis anak-anak Panti Asuhan tersebut. Mula-mula dia sendiri yang turun langsung melatih anak-anak itu, tapi belakangan kegiatan melatih itu diserahkannya kepada pelukis muda Sanggar Rowo, Ganesha.
“Pelatihan melukis anak-anak Panti Asuhan Alwasliyah adalah pilot project. Proyek percontohan. Jika di panti Asuhan Alwasliyah program belajar melukis ini berjalan dengan baik dan sukses, saya akan lanjutkan pelatihan melukis ini di panti-panti asuhan lainnya,” jelas M. Yatim.[cut]
Anak-Anak Panti Asuhan Alwasliyah saat belajar melukis kendi/gerabah (foto/susdha) |
Bakat Terpendam
Di luar dugaan, beberapa bulan sejak pelatihan dimulai, M. Yatim melihat ada bakat-bakat terpendam dalam diri anak-anak Panti Asuhan tersebut. Dari puluhan anak yang ikut belajar melukis, ada sejumlah anak yang ternyata memiliki bakat terpendam. Bakat-bakat itu, kata Yatim, kalau saja diasah terus, bukan mustahil akan mengantarkan anak-anak itu kelak menjadi pelukis yang bagus. “Saya melihat ada anak-anak yang tidak hanya bisa membuat gambar atau memberi warna, tapi juga memiliki imajinasi artistik yang luar biasa,” katanya.
Jadi, meskipun jumlah anak yang ikut pelatihan melukis setiap minggunya tidak stabil, sebab kesibukan di sekolahnya dan lain-lain, adanya bakat-bakat terpendam itulah yang mendorong semangat Yatim untuk terus mengasah kemampuan para anak Panti Asuhan itu. “Setiap kali proses latihan berlangsung, jumlah peserta yang ikut memang tidak tetap. Kadang banyak sekali, tapi kadang hanya sepuluh orang. Sebab anak-anak itu memang punya kesibukan lain, baik di sekolahnya atau di dalam panti,” katanya.
Tapi Yatim tidak patah semangat. Ia terus mendorong Ganesha, yang adalah putra bungsunya, untuk tetap melatih anak-anak Panti Asuhan itu melukis. M. Yatim bahkan tak hanya memberi anak-anak itu kuas, cat, kertas atau pinsil warna, ia bahkan membuat semacam proyek eksprimen dengan memberikan setiap anak itu “gerabah” atau kendi kecil, dan meminta mereka melukis kendi tersebut sesuai dengan warna yang mereka suka. Ternyata anak-anak itu menyambut eksprimen melukis dan mewarnai kendi itu dengan penuh semangat. Hasilnya? Gerabah bergambar itupun ikut dipamerkan di Hotel Radisson Medan pada 14 April hingga 9 Mei 2023 bersama sejumlah lukisan karya para pelukis muda Sanggar Rowo.
Pameran itu merupakan inisiatif Yatim yang menjalin kerjasama dengan manajemen Hotel Radisson, Medan. Sebanyak kurang lebih 30 lukisan cat minyak berukuran sedang dan kecil buah karya para pelukis Sanggar Rowo, dipajang di lobi Hotel Radisson jalan H. Adam Malik, Medan. Selain karya M. Yatim, lukisan lain yang dipamerkan adalah karya Ganesha, Sujoyono, Budi, Anto, Shirley, Sheila, Denzi, Antoro dan Saliman. Sedangkan di atas meja, di antara lukisan-lukisan yang terpajang, tersusun puluhan kendi (gerabah) ukuran kecil dan sedang yang sudah dilukis hasil karya anak-anak Panti Asuhan.
Pameran lukisan di Hotel Radisson Medan itu, menurut Yatim selain untuk mengisi kekosongan event kegiatan senirupa di Medan yang sudah cukup lama vakum, juga sebagai upaya untuk mengumpulkan dana bagi keperluan sosial.
“Kita berharap pameran ini selain menjadi penyemangat bagi para pelukis muda Medan untuk tidak putus berkarya karena minimnya event senirupa di Medan, juga bisa menjadi pemicu semangat bagi anak-anak Panti Asuhan yang sedang belajar melukis itu. Bahwa karya yang mereka buat juga dihargai banyak orang. Buktinya sejumlah gerabah bergambar karya anak-anak Panti Asuhan itu laku terjual,” ujar Yatim. [cut]
Sosok pelukis Kota Medan, M Yatim. (foto/ist) |
Siapa M Yatim?
Pelatihan melukis anak-anak panti asuhan dan pameran lukisan untuk tujuan sosial di Hotel Radisson Medan itu adalah salah satu dari kiprah kreatif sekaligus aksi sosial M. Yatim Mustafa sejak beberapa tahun lalu. Sebelum melatih anak-anak Panti Asuhan melukis secara cuma-cuma, M. Yatim bahkan sudah sering melakukan aksi-aksi sosial tanpa harus dipublikasikan. Semua aktivitas itu menunjukkan bahwa sebagai pelukis Yatim tidak hanya berkarya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk kehidupan banyak orang.
Belajar dari pengalaman pribadinya, dia mengajarkan kepada para pelukis muda bagaimana caranya menghadapi tantangan hidup melalui seni lukis. Satu prinsip hidup yang bahkan sudah ia ajarkan sejak akhir tahun 1980-an kepada puluhan anak muda yang belajar melukis di Sanggar Rowo yang dia dirikan.
M. Yatim Mustafa dikenal sebagai seorang pelukis realis naturalis terkemuka di Sumatera Utara yang telah berhasil melahirkan puluhan pelukis realis melalui Sanggar Rowo yang didirikannya pada Februari 1988 itu. Sanggar itu sendiri dibangunnya tanpa bantuan siapa-siapa di atas sepetak tanah kosong bekas rawa-rawa di Desa Limau Manis, Tanjung Morawa, Kabupaten Deliserdang.
Memperdalam gaya melukis realis dengan salah seorang pelukis kenamaan Indonesia, Dullah, lelaki yang lahir di Medan pada tahun 1957 ini belajar secara khusus dengan Dullah selama enam tahun sejak ia meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Jawa maupun di Bali.
Merasa tak cukup, Yatim bahkan sempat memperdalam pemahamannya akan senilukis realis dengan mempelajari beberapa karya maestro senilukis dunia di sejumlah museum di Eropa, di antaranya D-Orse dan Lofre di Prancis serta di Italia. Dia sempat pula menetap di Singapura dan Malaysia dan berpameran di sana.
Di Sanggar Rowo, M. Yatim Mustafa tidak hanya melatih anak-anak muda yang berminat terhadap senirupa, tapi juga menumbuhkan apresiasi pelajar dan mahasiswa dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang menaruh minat terhadap senirupa. Sejak tahun 1990, Sanggar Rowo yang didirikannya bahkan berubah menjadi tempat belajar non formal para pelukis muda yang datang tidak hanya dari Medan, tapi juga dari Aceh dan kota-kota lainnya di Sumatera Utara. Bahkan ada pula yang datang dari pulau Jawa.
Seperti sudah disebutkan, sejak tahun 2021, M. Yatim bersama pelukis-pelukis muda Sanggar Rowo, membimbing, mengajar dan melatih anak-anak Panti Asuhan untuk tidak hanya menjadi pengagum senilukis, tapi juga harus bisa menjadi pelukis. Metode pembelajaran dan pelatihan melukis yang dilaksanakannya didasarkan pada pengalaman masing-masing orang, tak terkecuali saat ia melatih anak-anak Panti Asuhan itu. Pada tahapan-tahapan tertentu, kata Yatim, dia bahkan tidak meminta anak-anak asuhnya menggambar, tapi menuliskan kesan intrinsik yang menjadi pengalaman sehari-hari mereka di atas kanvas. Sebab, bagi Yatim, “lukisan adalah puisi tanpa kata, sedang puisi adalah lukisan tanpa gambar.”
Dengan banyaknya pelukis yang lahir atas bimbingannya melalui Sanggar Rowo, harus diakui jasa M. Yatim terhadap dinamika kehidupan kesenian di Sumatera Utara, khususnya di bidang senilukis, tak boleh dibilang kecil. Sejumlah pelukis realis di Sumatera Utara adalah anak didiknya atau setidaknya pernah belajar melukis dengannya. Atas dedikasi dan kepeduliannya terhadap pembangunan seni budaya itulah M. Yatim, pada tahun 2018, dinobatkan menjadi salah seorang seniman yang mendapat penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Deliserdang sebagai seniman penggerak literasi budaya. [cut]
M Yatim melatik melukis anak-anak Panti Asahan Lazarus. (foto/susdha) |
Memamerkan Karya Anak Panti Asuhan
Bagi M. Yatim, berkarya dan memamerkan hasil karya adalah dua pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Itulah sebabnya, kata Yatim, tak semua pekarya memiliki kesanggupan untuk memamerkan sendiri hasil karyanya. Kebanyakan bahkan membutuhkan campur tangan pihak ketiga agar karya-karya yang dihasilkannya bisa diapresiasi dan dinikmati masyarakat luas.
Di Sanggar Rowo sendiri anak-anak muda penyuka seni yang belajar melukis pada M. Yatim, bahkan hidup bersama dan membangun komunitas sebagai pelukis yang sama-sama menekuni seni lukis bergaya realis naturalis. Dan M. Yatim, dengan penuh kesabaran, mendidik dan melatih anak-anak muda itu hingga menjadi pelukis-pelukis yang hari ini mewujud sebagai pelukis-pelukis realis yang diperhitungkan di Sumatera Utara.
Bagi M. Yatim, bagaimana menghasilkan karya lukis yang baik, yang indah, yang disukai banyak orang, dan bagaimana memasarkan karya tersebut, adalah dua pekerjaan yang memang membutuhkan keterampilan piawai. Menurutnya, bagaimanapun bagusnya sebuah karya, jika tidak mampu mendatangkan pengapresiasi, maka karya itu tak ada manfaatnya. Sebaliknya, bagaimanapun tingginya apresiasi masyarakat, jika karya yang dihasilkan tidak bagus, karya itupun tidak ada gunanya.
Dengan pandangan seperti itulah M. Yatim tidak cuma melatih anak-anak Panti Asuhan itu bisa melukis. Tapi ia juga mencari cara agar karya anak-anak tersebut dilihat dan diapresiasi orang. Untuk itu dia menjalin kerjasama dengan sejumlah pihak, baik itu kolektor maupun dengan para pengusaha. Di antaranya adalah dengan manajemen Hotel Radisson, Medan untuk menyelenggarakan pameran pelukis muda Sanggar Rowo dan gerabah bergambar karya anak-anak Panti Asuhan itu.
Selama kurang lebih satu bulan pada 14 April hingga 9 Mei 2023, sebanyak 30 lukisan cat minyak berukuran sedang dan kecil, buah karya para pelukis muda Sanggar Rowo, dipajang di lobi Hotel Radisson jalan H. Adam Malik, Medan. Selain lukisan di atas kanvas, di atas meja juga dipajang puluhan lukisan di kendi kecil (gerabah) hasil karya anak-anak Panti Asuhan Alwasliyah, Lubuk Pakam yang selama ini dibimbing M. Yatim.
Pameran lukisan untuk tujuan sosial yang diselenggarakan di lobi Hotel Radisson Medan itu adalah salah satu dari kiprah kreatif sekaligus aksi sosial M. Yatim Mustafa sejak beberapa tahun belakangan.
Bagi M. Yatim yang mengusung kredo “melukis tidak sekedar membuat gambar” itu, mendidik dan melatih anak-anak adalah sebuah kegiatan apresiatif yang mendatangkan kepuasan tersendiri. Dan itulah yang tak henti dilakukannya di Sanggar Rowo. Ia mengaku bangga bila anak-anak didiknya berhasil menorehkan jejak masing-masing sebagai pelukis yang dikenal luas di masyarakat.
Sejak kembali ke Medan dari belajar dengan pelukis Dullah di Bali, tekad M. Yatim memang tak berubah sejak dulu, yakni ingin terus membuka jalan agar anak-anak muda yang belajar melukis dengannya itu bisa membintang. Maka tak heran jika nama-nama pelukis realis yang kini dikenal di Sumatera Utara seperti Bambang Triyogo, Cecep Priyono, Hardiman Wisesa, Mulyadi, Ary Darma, Herdy An, Saliman, Eko Cahyo, Didi Priadi, Farah, Risma Siahaan, Beringin Simamora, Ilma, April Husni, Budiani, Dai Lubis, Iwan Vero, dan banyak lagi lainnya, adalah sejumlah nama pelukis realis naturalis Sumatera Utara yang pernah belajar dan menuntut ilmu melukis dengannya. Nama-nama itu sampai sekarang masih terus melukis dengan gaya realis dan sebagian besar bahkan istiqomah menghidupi dirinya dari melukis.
Meski begitu, M. Yatim mengaku belum betul-betul merasa puas. “Kepuasaan saya adalah bila saya bisa lebih banyak lagi berbagi kepada orang lain,” katanya. “Tidak hanya dalam soal ilmu melukis, tapi juga dalam membangun keseimbangan antara aspek material dan aspek spiritual di dalam melakoni kehidupan sehari-hari,” tambahnya. [cut]
M Yatim bersama pelajar SMA di sanggar Rowo. (foto/susdha) |
Langganan Lelang
Dalam dunia seni lukis Indonesia, dua tahun belakangan ini nama M. Yatim Mustafa memang semakin dikenal karena karyanya sering diikutsertakan dalam berbagai pameran senilukis yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional dan disertakan dalam lelang lukisan bertaraf internasional. Yang terakhir karyanya ikut dipamerkan di JiExpo pada 29 Februari hingga 3 Maret 2024 bersama sejumlah pelukis nasional setelah sebelumnya karyanya juga ikut dipamerkan dalam Pekan Kebudayaan Nasional tahun 2020 di Jakarta, Pameran Bienalle di berbagai kota besar Indonesia, juga pameran bersama di Singapura dan Malaysia.
Sejak tahun 2021, 2022 hingga 2023, karya-karyanya pun diikutsertakan dalam bursa lelang internasional yang diadakan di Jakarta bersama karya para pelukis kenamaan Indonesia seperti Affandi, Jeihan, Basuki Abdullah, Popo Iskandar, dan lain-lain. Di antaranya pada lelang 33 Auction pada tanggal 3 Oktober 2021 di Shangri-La Hotel Jakarta dimana karya berjudul “Light at The End of The Tunnel” dan “Light of Luck” berhasil terjual. Dalam beberapa kali keikutsertaannya dalam bursa lelang lukisan internasional di Jakarta, setidaknya sudah tujuh lukisannya laku terjual dengan harga puluhan juta rupiah. Belum lama ini, dua lukisannya juga terjual dalam lelang internasional yang diselenggarakan oleh balai lelang 33 Auction dengan harga mencapai ratusan juta rupiah.
Lukisan-lukisannya pun telah pula dikoleksi para kolektor dari dalam dan luar negeri. Banyak dari karyanya saat ini bisa dilihat di berbagai Galeri, di antaranya di Linda Galeri, Jakarta dan berbagai ruang kantor perusahaan ternama. Untuk semua sukses itu, dengan merendah M. Yatim menyebut sebuah karya seni, apapun bentuknya, akan menemukan jalannya sendiri. Dan menurutnya itulah yang terjadi pada lukisan-lukisan karyanya yang terjual di bursa lelang internasional itu. Satu hal yang pasti, katanya, keberhasilannya dalam menembus bursa lelang itu semakin menguatkan semangatnya untuk terus memacu kreativitas hingga bisa lebih banyak berbagai pada anak-anak Panti Asuhan yang kini berada di bawah bimbingannya.
Harus diakui, lukisan karya M. Yatim memang tidak lahir hanya dari ide dan proses imajinasi yang serius, tapi juga melalui proses perenungan, kontemplasi dan bahkan proses spiritual yang panjang hingga bisa disejajarkan dengan deretan karya para pelukis kenamaan di Indonesia.
Bagi M. Yatim, proses kreatif dalam menghasilkan sebuah lukisan adalah penting. Dan itulah yang dia ajarkan pada anak-anak yang diasuh dan dididiknya. “Kita harus menemukan lebih dulu “roh” dari karya yang ingin kita buat. Kalau tidak, kita hanya sekedar memindahkan objek lukisan ke atas kanvas. Roh itu adalah serangkaian nilai-nilai yang bisa kita sampaikan pada penikmat karya kita lebih dari sekedar gambar di atas kanvas,” katanya.
Maka, terlepas dari sosok dan kiprah yang sudah dilakukan M. Yatim demi kemajuan senilukis di Sumatera Utara, kegiatan pameran yang dilakukannya bersama pelukis muda Sanggar Rowo dan anak-anak Panti Asuhan pada 2023 lalu, adalah sebuah langkah awal yang patut didukung untuk terus dilanjutkan. Tentunya demi menjaga gairah kreatif pelukis-pelukis muda tersebut hingga tidak padam dan kehilangan harapan.
Namun, apapun ceritanya, M. Yatim, melalui aksi pelatihan melukis yang dilakukannya kepada anak-anak Panti Asuhan itu, tidak saja telah mendidik anak-anak tersebut bagaimana cara melukis, tapi juga bagaimana harusnya melukis dengan hati. Seperti katanya, hanya dengan hati seseorang bisa menghasilkan karya yang baik. Hanya dengan hati pula seseorang bisa membulatkan tekad untuk membuka ruang lebih besar tidak hanya bagi mengeksploitir kemampuan dirinya sendiri, tapi juga bagi menumbuhkan bakat yang selama ini terpendam dalam dirinya.
M. Yatim, melalui pelatihan melukis gratis yang dia berikan pada anak-anak Panti Asuhan, secara tidak langsung telah melukiskan harapan akan secercah cahaya masa depan pada anak-anak panti asuhan itu. Maka, siapa tahu, setelah melihat dan mendengar tujuan baik dari apa yang dilakukannya selama empat tahun ini, ada pihak yang terenyuh dan bersedia mensponsori aksi kepedulian yang dia lakukan. Semuanya tentu demi satu tujuan mulia, yakni membangun masa depan yang lebih baik untuk kehidupan anak-anak yang selama ini hidup di Panti Asuhan.
Dan saya haqqul yakin, semangat atas kepedulian seperti itu sejalan dengan tema yang digaungkan oleh JNE, “Gasss Terus Semangat Kreativitasnya!” Sungguh! [S. Satya Dharma]