Fenomena Borong Partai! Koalisi Besar Politik Transaksional

Sebarkan:
Danil Fahmi, SH.
KETUA Harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad (SDA) menyatakan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus siap melawan Anies dan PDIP. Koalisi Gendut KIM Plus terdiri dari 9 partai politik anggota KIM dan beberapa parpol di luar koalisi. 

Anggota asli KIM adalah Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora, Garuda, dan Prima. Koalisi bertambah dengan bergabungnya PKS, PKB, PPP, Perindo, dan Nasdem. Fenomena KIM Plus ini mencuat saat perebutan DKI Jakarta yang ujungnya akan membuat Pilkada DKI berpotensi lawan kotak kosong. 

KIM yang awal adalah gabungan partai pendukung Prabowo-Gibran pada kontestasi Pilpres 2024, kemudian diperluas dengan partai tambahan lainnya. 

Fenomena KIM Plus menyeruak di Pilkada serentak 2024 ini, dimana berbagai daerah seolah mengikut atau bisa jadi dipolakan menjadi konstelasi politik pusat yang diterapkan pada masing-masing daerah. Sebagai contoh pada Pilkada Sumatera Utara, Partai pendukung bakal calon Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution antara lain Gerindra, Golkar, Demokrat, Nasdem, PAN, PKB, dan PKS yang merupakan 63% kursi dari 100 kursi DPRD Sumatera Utara. Sungguh koalisi yang sangat potensial untuk pemenangan kontestasi ini. 

Dalam strategi lanjutannya, secara politis Bobby mendorong para calon kepada daerah tingkat II (Kabupaten Kota) untuk melakukan kolaborasi yang sama sehingga dalam taktik lapangannya tujuan pemenangan Bobby menjadi selaras dengan capaian pilkada di daerah tingkat II. 

Hal yang sama, dilakukan bakal calon Bupati Batu Bara Baharuddin Siagian, yang disanterkan memborong partai partai besar selain PDIP yang sudah jelas mendukung Zahir sebagai incumben dan kadernya. Partai-partai yang dikabarkan sudah diborong Bahar antara lain Gerindra, Golkar, PPP dan PKS yang memguasai 16 kursi DPRD Batu Bara (40% kursi DPRD). PKS malahan sudah menyampaikan dukungannya secara resmi. 

Di spanduk yang beredar di Batu Bata, klaim atas dukungan Gerindra sudah beredar ramai untuk Bahar, yang disandingkan dengan dukungan Gerindra kepada Bobby. Padahal, nyatanya dukungan resmi dalam bentuk B1KWK Gerindra kepada Bobby baru rilis per 23 Agustus 2024, sedangkan untuk Bahar di Batu Bara belum ada diputuskan partai.

Sungguh fenomena memborong dan klaim dukungan partai ini kurang sesuai dengan semangat perhelatan Pilkada yang menginginkan lahirnya pemimpin baru yang jujur, bertanggung jawab dan mampu membangun daerah.

Dari kedua contoh strategi kedua bakal calon yang membentuk koalisi gendut, tidak ada yang keliru dalam gerak strategi politik itu, namun koalisi gendut ini bisa disebut sebagai operasi borong partai ini tidaklah cara berpolitik yang sehat bagi demokrasi. 

Sejatinya ambang batas yang ditetapkan ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada calon lain untuk ikut berkompetisi. Dan itu pula yang menjadi salah satu sebab demo besar-besaran hari ini, Kamis 23 Agustus 2024 di DPR RI Jakarta, yang menolak pembatasan kesamaan peluang didalam Pilkada serentak ini. 

Benar adanya bahwa Demokrasi mengedepankan musyawarah untuk mufakat yang diletakkan pada kesamaan visi dan misi bersama, bersama inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai koalisi, namun berbeda jauh dengan fenomena Pilkada serentak, dimana terjadi operasi borong partai yang bisa dikatakan adalah strategi dan taktik transaksional yang dilakukan oligarki, bukan ruh yang menghidupi demokrasi yaitu keinginan bersama. 

Karena didalam transaksi borong partai itu, partai akan disandera oleh bakal calon. Lebih-lebih saat ini, lazim diketahui khalayak banyak kepala daerah yang bukan berasal dari kalangan kader murni, namun adalah persona-persona yang punya kemampuan "finansial lebih", sehingga sangat berkemungkinan secara instan melalukan operasi borong partai didalam misi pencalonannya. 

Tentunya karena ini adalah bersifat transaksional maka seluruh biaya sudah diperhitungkan secara futuristik sebagai logistik politik berbiaya tinggi, yang pada akhirnya akan berujung pada utak-atik anggaran pembangunan daerah. 

Rakyat jualah yang akan merugi karena kekayaan dan sumberdaya hasil negara, pajak dan lain-lain pendapatan dari rakyat akan "diolah" sebagai usaha pengembalian logistik finansial politik yang tidak sehat. Pilihlah kepala daerah yang amanah, setidaknya menjauhkan rakyat dari bahaya politik transaksional yang membunuh demokrasi. (*)

Penulis :Danil Fahmi, SH, Pengamat Komunikasi Politik sekaligus Advokat membership Law Firm Zamal Setiawan & Partners.

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com