CHOKING SUSILO SAKEH. |
“Sedih rasanya melihat fasilitas umum yang sudah diperbaiki tapi dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab,” tulis Bobby di postingannya tersebut. (Detik Sumut, 18 Sept. 2024).
Bobby Nasution sedih? Akh, yang benar aja, lae…
Yang semestinya sangat layak sedih itu adalah warga Kota Medan, terkhusus saya pastinya. Sebab, postingan “Peringatan Darurat” dari seorang Walikota Medan terhadap prilaku warganya, itu sesungguhnya adalah postingan menyedihkan. Lho kok?
Yak, postingan “peringatan darurat” Bobby Nasution itu telah menunjukkan kepada kita, prihal ketidakmampuan Bobby Nasution hingga di akhir masa jabatannya, di dalam mengajak -- apalagi melibatkan -- warganya untuk bersama-sama menjaga fasilitas umum yang ada. Atau, kalau kita balik, warga Medan sudah tak peduli dengan apapun yang dikerjakan Bobby di kota ini.
Postingan ‘peringatan darurat” Bobby Nasution itupun semakin menguatkan dugaan saya selama ini, bahwa kata ‘kolaborasi’ pada tagline “Kolaborasi Medan Berkah” yang diusung Bobby Nasution ternyata memang bermakna sebagai “kolaborasi sor sendiri”. Ditambah lagi dengan pola kepemimpinan “Mentang-mentang” Bobby Nasution di dalam mengelola Kota Medan, maka semakin masuk akallah jika warga Medan kemudian tak mau peduli dengan apapun yang dilakukan Bobby Nasution. Termasuk di dalam keikutsertaan warga menjaga fasilitas umum.
Indikasi ‘kolaborasi sor sendiri” dengan pola kepemimpinan mentang-mentang Bobby Nasution, bisa dilihat dari banyaknya keluhan, somasi, juga gugatan warga terhadap berbagai proyek pembangunan yang dilakukan Bobby Nasution. Namun, tak satupun keluhan tersebut ditanggapi Bobby Nasution secara serius.
Bahkan, banyak proyek pembangunan yang dilakukan Bobby Nasution, terkesan sama sekali tak menghiraukan dampak negatif yang dirasakan warga pada saat proyek tersebut dikerjakan. Misalnya, tak pernah ada pemberitahuan awal kepada warga sebelum proyek dikerjakan, lalu tak peduli dengan lalulintas yang menjadi macet dan tersendat akibat pengerjaan proyek, tak peduli dengan kerugian yang dialami para pemilik rumah atau tempat usaha di sekitar lokasi proyek dan seterusnya dan seterusnya.
Bobby Nasution tak pernah mau mengajak masyarakat untuk membicarakan dampak-dampak negatif yang bakal timbul itu, sebelum proyek dikerjakan.
Postingan “peringatan darurat” Bobby Nasution itu, pun sekaligus memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya Bobby Nasution tidak mengenal sama sekali karakteristik ‘Anak Medan’ yang khas.
Sebagaimana diketahui, percampuran etnis dan budaya secara massal sudah terjadi di Kota Medan sejak abad ke-12, yang ditandai dengan adanya situs Kota Cina di Kawasan Marelan. Percampuran beragam budaya yang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu itu, melahirkan karakteristik khas Anak Medan. Beberapa karakter Anak Medan tersebut, diantaranya keras, terbuka, spontan, sangat setia kawan, bertanggungjawab, sangat menghargai, namun juga pantang tak hebat.
Ketika karakter khas Anak Medan semacam itu dihadapkan dengan pola kepemimpinan ‘mentang-mentang” dan konsep “kolaborasi sor sendiri” Bobby Nasution tersebut, wajarlah jika kemudian melahirkan sikap apatis dan tak peduli banyak warga Medan dengan apapun yang dikerjakan Bobby Nasution,
Dan pada giliran berikutnya, mungkin warga cuma bisa protes di dalam hati : “Sukak hati ko lah apa yang mo ko buat, Bobby.”
Mangkanya…
Darurat dari Warga untuk Bobby
Dengan kondisi yang ada di Kota Medan di masa kepemimpinan Bobby Nasution tersebut, semestinya bukan Bobby Nasution yang mengunggah ‘Peringatan Darurat” tentang prilaku warganya. Tapi yang lebih layak, adalah warga yang menggunggah “peringatan darurat” tentang prilaku kepemimpinan Bobby Nasution selama memimpin Kota Medan.
Isi peringatan darurat warga kepada Bobby Nasution itu, menyimpulkan bahwa “Bobby Nasution gagal memimpin Kota Medan”. Dan banyak indikasi kegagalan tersebut. Diantaranya, Kota Medan saat ini cuma punya dua ‘kelebihan’. Pertama, adalah kelebihan air. Hujan sedikit, siap-siaplah untuk menerima banjir, eh genangan air. Artinya, proyek drainase yang sudah menyedot ratusan milyar uang rakyat itu, tak bermanfaat sama sekali. Maka, taklah aneh jika janji “di Medan bebas banjir” diplesetkan menjadi “Banjir bebas di Medan”.
Kelebihan kedua, adalah Medan kelebihan janji. Berbagai janji-janji kampanye yang kemudian tertera di dalam visi-misi, misalnya janji bebas banjir, cumalah omon-omon. Begitu pula janji bebas begal dan geng motor, hingga kini pun sekedar omon-omon belaka.
Belum lagi janji tentang berbagai proyek, yang kini berpotensi menjadi proyek mangkrak dengan beragam dampak negatif yang dirasakan warga baik pada saat pengerjaan proyek maupun kelak saat proyek-proyek tersebut benar-benar terbengkalai. Sebut saja proyek revitalisasi Stadion Teladan, revitalisasi Lapangan Merdeka, revitalisasi Kebon Bunga, pembangunan Islamic Center, dua proyek underpas dan proyek jembatan stasiun kereta api, termasuk proyek drainase.
Dan ketika Bobby Nasution menyatakan meninggalkan jabatannya sebagai Walikota Medan untuk maju sebagai Cagubsu pada Pilgubsu 27 November 2027 nanti, itu berarti Bobby Nasution akan meninggalkan banyak proyek berpotensi mangkrak di Medan.
Tentu saja, upaya Bobby Nasution pingin naik jabatan tersebut, telah memberi tahu kita bahwa sesungguhnya Bobby Nasution sama sekali tak punya niat tulus untuk mengabdi dan membangun Kota Medan. Yang bisa kita baca, Bobby Nasution adalah sosok yang dipenuhi dengan syahwat kekuasaan semata. Dipastikan, segala cara akan dilakukan Bobby Nasution, untuk merealisasikan syahwatnya tersebut, termasuk dengan mengumbar janji-janji.
Karenanya, warga Medanlah yang sangat teramat layak mengunggah “Peringatan Darurat” untuk Bobby Nasution. Bukan malah sebaliknya.
Mangkanya…
----------------------------------------
*Penulis adalah Jurnalis Utama, menetap di Medan.